fbpx

MONOCHROME

Our first focused exhibition for 2020 is a collaboration between Artemis Art and Indonesian gallery Art Serpong Gallery. MONOCHROME is a large scale exhibition that features six visual artists, each with a solo showing, three each from the two galleries. The exhibition combines the talents of Afdhal, Ajim Juxta, Danni Febriana, Dedy Sufriadi, M. Yakin, and Syahbandi Samat.

MONOCHROME will be held at Art Serpong’s Breeze Art Space, located at The Breeze, BSD City, Tangerang, Banten, Indonesia. The exhibition was supposed to have begun with an opening reception on Friday, March 20 2020. However, due to the COVID-19 situation, both galleries have made the decision to POSTPONE the exhibition until such a time that will be announced. 

This posting provides an opportunity to virtually view the artworks included in MONOCHROME, accessible via the tabs at the top of the page. For enquiries about the artworks included in the exhibition (all of which are available for purchase), contact us via email at in**@ar***************.com.

Virtual Exhibition Tour

As both Indonesia and Malaysia are currently facing the COVID19 crisis, we have designed a virtual exhibition walkthrough for MONOCHROME. The walkthrough comes with a guided tour function, but you may also point and click on any of the artwork images to view the artwork details.

The virtual exhibition may be accessed through this link, but it is best viewed on a desktop browser or via the Artsteps mobile app, available for Android and IOS. For mobile app users, do a search for MONOCHROME to find the virtual exhibition. A guided tour has been built into the exhibition, but you may also opt to manually traverse the virtual exhibition space.

For those unable to access the the virtual exhibition, we have produced a video walkthrough you can watch below.

MONOCHROME Virtual Exhibition Walkthrough

Art Serpong Gallery @ Breeze Art Space

Art Serpong Gallery is located in BSD City, Tangerang, and Breeze Art Space is one of the spaces that the gallery runs for their exhibitions. Tangerang is one of the urban areas that’s part of Metropolitan Jakarta, also known as Jabodetabek.

MONOCHROME will take place at Breeze Art Space, which is located at The Breeze, BSD City, Tangerang, Banten, Indonesia (link opens in Google Maps).

The location map on the right provides an easy reference to find the gallery.

Visit Art Serpong Gallery’s website for more information about the gallery.

The following essays are presented in either Bahasa Indonesia or English, and are originally part of the exhibition wall text, or contained within the publications associated with MONOCHROME. PDF copies of the publications may be obtained on request by emailing us at in**@ar***************.com.

Monochrome: Laku Rupa Eka Warna (by Huhum Hambilly)

Pada pertengahan abad 19 hingga pertengahan abad 20, para penduduk dunia yang sedang mengalami dampak modernisme, sebagian besar cenderung akrab pada citraan monokrom. Dunia tampil dalam hitam putih, baik melalui foto-foto, koran, majalah, buku-buku, film, dan beberapa media gambar reproduktif.

Sebaliknya, dalam seni lukis, dunia justru sedang tampil berlimpah warna. Setidaknya, sejak Michel Eugène Chevreul, seorang ahli kimia, pada tahun 1864 menerbitkan risalah tentang teori warna dan kemungkinan aplikasinya terhadap industry – dikenal dengan lingkaran warna (kromatik). Lingkaran kromatik didesain Chevreul dengan tujuan untuk merepresentasikan, mengklasifikasikan warna pada lukisan dengan ketetapan dan cara yang praktikal, ada 72 warna pasti, serta 20 lingkaran lainnya untuk warna menengah.

Hukum formulasi warna Chevreul membawa dampak besar dalam seni lukis akhir abad 19, selain juga fotografi. Sehingga para seniman tidak mampu lagi melukis seperti sebelum-sebelumnya. Mereka tak harus mengejar akurasi, tak melulu berada di dalam studio, juga tak membatasi tema dan status subjek. Di kemudian hari para seniman tersebut kita kenal sebagai generasi impresionis.

Impresionisme, boleh diketahui sebagai gerakan seni paling kaya dan kokoh, ada perayaan sekaligus pergelutan. Mereka mengalami, merespon dan bereksperimen langsung dengan berbagai temuan dan fenomena penting dunia moden, seperti teori warna Chevreul, proses Hillotype Levi Hill, penemuan wet collodion, sampai tumbuh kembang industry dan pengaruh pemikiran intelektual-sastrawan yang sedang panen-panennya.

Tak heran jika sejarawan terkemuka seni impresionis, Lionello Venturi, melihat bahawa para impresionis saling melengkapi satu sama lain, masing-masing dengan kelebihan tertentu seperti “sukacita, animasi, dan roh gambar berhasil diekspresikan Renoir, jiwa benda-benda oleh Monet, kekuasaan tanpa kekurangan dari dunia yang bersahaja lewat. Degas, kehebatan, pemurnian, dan kedahsyatan pengetahuan dari Cezzane; religiusitas pedesaan dan perkembangan daerah yang epic oleh Pissaro, serta kehalusan dan ketenangan dari Sisley.”

Namun, dunia segera berganti, seni niscaya berubah, perayaan bergelimang warna tak lagi lama, apalagi ketika wajah abad 20, tampil dalam kecamuk perang. Gambaran lukisan yang tadinya penuh warna seolah bergerak menuju pada yang sederhana, lebih simple, makin dalam – meski sesungguhnya rumit.

Lukisan monochrome pertama-tama mulai kenal pada pameran seni Incoherent pertama pada tahun 1882 di Paris, melalui lukisan hitam karya penyair Paul Bilhaud berjudul Combat de Nègres dans un tunnel (Orang Negro bertarung di sebuah terowongan). Karya ini tergabung dalam beberapa portofolio gambar monokrom berbagai warna dengan bingkai hias yang seragam, masing-masing memuat judul yang lucu.

Pada tahun 1897, Alphonse Allais menerbitkan Album primo-avrilesque, sebuah monograf dengan tujuh karya seni monokrom, menariknya terbitan ini juga ia maksudkan sebagai buku pengantar pemakaman.

Ia menyampaikan bahwa pelukis lain adalah “pengrajin konyol yang membutuhkan ribuan warna berbeda untuk mengekspresikan konsepsi mereka yang menyakitkan” dan bahawa pelukis idealnya bekerja “menuangkan secara sukarela, satu warna untuk satu kanvas… monokromatik.”

Picasso, pelukis sohor abad 20, di tahun 1901 karyanya tiba-tiba berubah membiru. Beberapa publikasi popular menyebutnya sebagai masa susah dan masa depresi. Picasso memilih subjek-subjek gelap, seperti pelacure, pengemis, dan pemabuk. Lukisannya pada dasarnya bersifat monokromatik dalam nuansa biru dan biru-hijau, hanya sesekali dihangatkan dengan warna lain, yang kemudian dikenal “periode biru”. Konon Picasso mengalami masalah keuangan, ia cabut dari pergaulan sosialis, public tiba-tiba tak tertarik melihat karyanya. Meski di kemudian hari, salah satu karya lukis yang dibuat pada masa “periode biru” tersebut, The Old Guitarist, menjadi sangat terkenal.

Jean Metzinger, seorang pelukis kubis – tidak identic dengan karya monokrom, punya penyataan cukup berani terkait warna dalam lukisan. Melalui wawancara dengan Cyril Berger yang diterbitkan di Paris-Journal (29 Mei 1911), ia punya prediksi, “Siapa yang tahu jika suatu hari nanti, seorang pelukis hebat, punya ejekan dan permainan brutal dari para pelukis yang mengambil tujuh warna kembali ke kanvas yang sepenuhnya putih, tanpa apa-apa, tidak apa-apa sama sekali.”

Tidak seperti Picasso yang dalam monokromnya masih menampilkan representasi subjek, prediksi berani Metzinger menyatakan bahwa seniman akan mengambil kesimpulan logis dengan mengosongkan materi subject representasional sepenuhnya dan kembali kea pa yang ia sebut sebagai “primordial white unity” (kanvas yang sepenuhnya putih). Tanpa dinyana ramalan tersebut terwujud dua tahun kemudian.

Sebuah manifesto satiris berjudul Manifeste de fécole amorphiste yang terbit di Les Hommes du Jour (3 Mei 1913) mungkin sevisi dengan Metzinger. Dalam pikirannya, penulis membernarkan kanvas-kanvas kosong amorf dengan mengklaim ‘cahaya sudah cukup untuk kita’. Dari semua teks tersebut, yang kebetulan terkait dengan karya pelukis Picabia, mungkin menjadi publikasi paling sulit untuk dijelaskan. Sejarawan seni Jeffery S. Weiss merespon “Vers Amorphisme mungkin omong kosong, tetapi hal itu cukup seagai bahasa dasar untuk mengantisipasi implikasi reduksi ekstrim non-objektivitas”.

Ketika dunia seni sedang menancapkan gagrak formalisme (abad 20 awal), sebuah gerakan yang berfokus pada praktik penekunan terhadap bentuk yang bercorak atau bentuk-bentuk eksternal lain. Karya lukis monokrom seperti mendapat tempat khusus, ia makin akrab. Oleh beberapa seniman avant garde dan aktivis formalis menempatkan karya seni minimalis, termasuk monkrom, berkembang menjadi semacam sikap ideal. Contoh seniman yang paling sukses melalui karya monkrom adalah Kazimir Malevich, pelukis asal Rusia, pencetus gerakan spremastime. Karya berjudul Black Square (1915) dan White on White (1918) adalah yang paling terkenal.

Meski karya seni monokrom tak pernah menjadi satu gugusan khusus, entah sebagai isme ataupun gerakan tersendiri, namun setidaknya sejak abad 19, gambaran dunia monokrom teap eksis dan berkembang sampai hari ini. Monokrom, sebagaimana umum diketaui, adalah moda yang mampu menyajikan citraan minim distraksi, focus pada objek dan komposisi, memperjelas pencahayaan dan detail. Selama 2 abad berlangsung, praktik karya monokrom teru-menerus hadir, yang mungkin hendak membangun ruang permurnian, ia bisa menjadi moda visual yang merangkum segala masa, timeless. Hingga hari ini, beberapa seniman tetap menekuni dan bergiat dalam laku rupa ekawarna..

MONOCHROME: Gradated But Singular Focus (by Artemis Art)

MONOCHROME, by definition, refers to artworks executed purely in black and white, and the many shades of gray in between. Or, by extension, varying gradations and tones of a single color. This definition alone presents many possibilities for the artist. But if we add “singular focus” as another potential definition, the possibilities become more abundant. This expansion/extension provides the artist greater flexibility, no longer bound to the use of color as the one and only consideration in presenting their artistic vision.

The three artists representing Artemis Art individually exhibit these defined characteristics of what could be considered “monochrome”. Ajim Juxta in his works utilizes the most recognizable definition, that of singularity in color scheme, as does Syahbandi Samat, to some extent. For Dedy Sufriadi it is his intent and approach to how he’s executed his works.

Each of the three artists exhibits strengths that are unique to each individual. In MONOCHROME, these strengths manifest themselves in various ways; mastery of color usage, aesthetic prowess, or perhaps a bit of both. Collectively, they make for an exciting assembly of artworks, providing added dimensions to a theme that may, at first glance, appear somewhat limiting or rigid.

Afdhal

Monochrome - Afdhal

b. 1981 in Dumai, Indonesia

Contact us for artist profile

The following write-up is in Bahasa Indonesia and has been excerpted from the MONOCHROME publication by Art Serpong Gallery, from the introduction by art writer Huhum Hambilly. We have included the publication for viewing (see the Publication tab to the right).

Berada dalam Lanskap Afdhal

Sebuah lanskap dalam lukisan Afdhal tidak hanya menggambarkan dari apa yang bisa ditangkap oleh mata normal. Karyanya hendak menangkap semesta, penglihatan mikroskopik, tampilan pola-pola matematis, dan memunculkan aura pada objek-objek sekaligus. Nampaklah sebuah pemandangan yang sarat akan ketenangan dalam nuansa dinamis. Afdhal tidak sekonyong-konyong menampilkan seluruhnya dengan tegas dan pasti. Ia memberi keseimbangan tersendiri dengan penggambaran yang, seperti menuju hilang atau menuju ada, kemunculan dan kekaburan, yang mendekat pula menjauh. Semua itu ditampilkan Afdhal dengan porsi dominan monokrom.

Afdhal punya intensi sendiri atas apa-apa yang berbau kosmos, itu mengapa lukisannya cenderung memberi kesan keruangan. Karya lukisnya adalah sebuah usaha menggelar dimensi luas pada halaman kanvas. Maka pemandangan langit dan bumi menyatu, binatang dan bintang-bintang tak berjarak, garis-bidang-bentuk-ruang menjadi sebuah kesatuan. Tidak ada yang rumit dalam proses melukis Afdhal. Sederhana, ia ingin melukis dari apa yang bisa dilukis. Gagasannya cukup dipengaruhi dari bagaimana kerap ia merasa terpukau ketika bersentuhan langsung dengan alam terbuka. Sepangkuannya, momen tersebut bak dzikir.

Hewan, kerap menjadi subjek lukisan, setidaknya sejak tahun 2015. Binatang yang kerap tampil dalam lukisan Afdhal menjadi refleksi bagaimana kehidupan modern yang tak memberi ruang hidup layak. Eksploitasi tiada henti, perampasan ekosistem, perilaku manusia yang terus-terusan menimbulkan kerusakan dan kepunahan. Afdhal ingin memberi tempat pada binatiang-binatang, yang olehnya kita bisa belajar kasih saying dan nilai kebijaksanaan.

Lukisan Afdhal merupakan usaha yang bisa dia jalani, meski faktornya banyak, persoalannya pun ada. Namun segalanya beres seketika lukisan sudah jadi. Meski baginya lukisan tetaplah menjadi misteri tersendiri. Afdhal terus mejalankannya dengan melukis dan melukis.

Exhibited Works

Click on the thumbnails below to view full image and details

Ajim Juxta

Ajim Juxta is the nom d’artiste selected by young Malaysian artist Raja Azeem Idzham Raja Azaham, an architect turned visual artist. His collection of works for this exhibition postulates a possible bleak future based on the artist’s observations of how today’s human activities impact the environment and natural world.

Entitled “Kanun Gila” (loosely translated, Code of Madness), Ajim’s works depict the possible aftermath of what he sees as society’s generally laissez-faire attitude towards the environment. Specifically, damage caused by human economic activities, such as developmental deforestation and mining. Could it be that in centuries to come, the razed landscapes left barren become monuments to present-day human recklessness? Will the damage caused to the environment one day become bitter reminders of human greed in exploiting natural resources for no other reason than self-enrichment?

Publication

Publication may be viewed below, or downloaded from here

Exhibited Works

Click on the thumbnails below to view full image and details

Danni Febriana

Monochrome - Danni Febriana

b. 1993 in Cilacap, Indonesia

Contact us for artist profile

The following write-up is in Bahasa Indonesia and has been excerpted from the MONOCHROME publication by Art Serpong Gallery, from the introduction by art writer Huhum Hambilly. We have included the publication for viewing (see the Publication tab to the right).

Estafet Spirit Merapi Danni Febriana

Beberapa karya monokrom Danni merupakan perpanjangan narasi atau relasi tentang Merapi. Gunung Merapi mungkin akan tetap menjadi misteri yang terus menyelimuti ataupun menghantui pengkaryaan Danni, setidaknya sejak 2013 ketika kali pertama ia meriset dan berkarya terkait gejala trauma masyarakat akibat letusan Merapi. Pemandangan monokrom, begitulah senyata-nyatanya wajah areal Merapi ketika terdampak erupsi pada 2010. Danni secara personal memang mengaku memiliki pengalaman traumatic, tapi ia juga tertarik pada persoalan di sekitaran gangguan mental. Alih-alih menghindar ia justru masuk lebih dalam, dan lebih dalam lagi. Dalam prosesnya, yang tentunya menyakitkan, ketika berhadapan dengan para penyintas tanpa diduga ia merasa sedikit demi sedikit mendapat momen penyembuh-pembebasan.

Pada lukisan Danni, kita menemukan hitam tak melulu muram. Ia menawarkan sunyi dengan cara bijaksana dan bersifat meditative.Subjek lukisan tidak menampakkan wajah. Di kepalanya penuh dengan aneka bunga dan dihinggapi beragam fauna macam kupu-kupu dan burung. Seperti ada simbol dari keramaian, sesuatu yang bergemuruh, penuh, dan bergejolak. Barangkali itu wajah yang terpapar trauma ketika sedang melalui proses healing. Melalui potret diam Danni, seperti meneguhkan bahwa trauma adalah proses menuju pencerahan. Berjuang melawan trauma adalah laku spiritual yang harus dijalani, betapapun sakitnya, agar bisa lebih memaknai setiap kejadian dan peristiwa. Trauma adalah bekal menuju kesadaran baru yang jauh lebih baik dari apa yang kita bayangkan. Sebagaimana trauma bencana Merapi menjanjikan tanah yang subur agar warga menjadi makmur.

Pengalaman riset mengantarkan Deanni dalam mengenali wajah Merapi lebih luas, baik secara historis, sosio kultural hingga spiritual. Merapi seperti memberi kekuatan tersendiri sehingga banyak mempengaruhi bahasa visual karyanya. Dalam proses membuat karya, kali ini Danni merasa diri tergerak untuk mengambil jarak pada Merapi, pad Jogja. Ia menyelesaikan karya-karyanya dengan memuat apropriasi imej oldmaster, mengambil objek-objek yang terhampar di jagat internet, digubah dan dimodifikasi dalam komposisi tertentu. Lukisan monokrom Danni tak hanya menampilkan subjek yang meditative, pengerjaannya merupakan upaya si seniman dalam membersihkan diri, hasilnya mungkin bisa jadi tawaran pengobatan sesama pemirsa.

Exhibited Works

Click on the thumbnails below to view full image and details

Dedy Sufriadi

For abstract artist Dedy Sufriadi, it is the singular idea of approach that becomes the driving force behind his collection of works. Tabula Rasa – a Latin term meaning “blank slate” – refers to how the artist approaches this body of work, coming to the blank canvas with a clear mind, without pretension or pre-defined agendas. But the result of Dedy’s approach is not a pointless meandering about the canvas, or artworks created completely without rhyme or reason. Dedy’s intuitive endeavor comes with it two decades worth of experience through his rich and versatile artistic practice to date.

The Tabula Rasa approach to creation is driven more by his intuition, and less so by the logic dictates formalist painting methodologies demand. The minimalist palettes used are tempered with strategic use of additional tones and hues, creating artworks that initially lure the viewer in visually, subtly converting the initial gaze to become deeper contemplations.

Publication

Publication may be viewed below, or downloaded from here

Exhibited Works

Click on the thumbnails below to view full image and details

Muhammad Yakin

Monochrome - M. Yakin

b. 1992 in Bukit Tinggi, Indonesia

Contact us for artist profile

The following write-up is in Bahasa Indonesia and has been excerpted from the MONOCHROME publication by Art Serpong Gallery, from the introduction by art writer Huhum Hambilly. We have included the publication for viewing (see the Publication tab to the right).

Potongan Perspektif Abu-abu Muhammad Yakin

Karya-karya pada kertas Yakin digambarkan secara abu-abu. Warna yang tampil dalam lukisannya adalah uraian abu-abu, meski terdapat bercak-bercak putih, dan hitam yang menjadi kesan. Secara tersirat Yakin hendak mewartakan transisi proses kreatif yang terus berlanjut. Yakin sebelumnya cukup intens menyajikan karya-karya ilustratif, melalui drawing hitam putih dengan tegas. Setidaknya sejak 2016, ia semakin tertarik pada monokrom, dan terus ia ulik sampai hari ini. Dalam satu karya, Yakin menawarkan berlapis perspektif. Baginya, abu-abu lebih membuka kemungkinan dan refleksi dalam memahami suatu fenomena melalui berbagai sudut. Singkatnya, Yakin menggambarkan beragam perspektif dalam satu lukisan sekaligus.

Karya Yakin hadir dalam figur-figur tunggal, tubuhnya anonimus, telanjang. Meski dengan anatomi layaknya manusia normal, wujudnya terkesan janggal. Hampir sebagian besar karyanya menampilkan potongan-potongan seperti tangan dan kaki dari sebuah gerak. Ia memotong gerak lambat yang dengan sedemikian rupa hingga akhirnya membangun sebuah perspektif. Sekali lagi, Yakin bukan memperlambat dan menjadikannya detail seperti dalam diagram slow motion. Ia membangun perspektif demi perspektif dari setiap gerak. Momen itu terkesan bias, sehingga menimbulkan persepsi akan, “bagaimana yang sebenarnya” atau “sebenarnya tidak jelas”. Karya-karya Yakin memang tidak memperjelas gambar, tapi memperjelas sudut pandang. Adapun fragmen tubuh. Yang kadang hendak menyatu, memisah, ataupun tercecer, adalah sebuah upaya memberi ruang pemaknaan atas perspektif.

Gagasan seringkali hadir di kepala Yakin. Kemudian ditindaklanjuti melalui serangkaian proses. Ia merancang konsep objek melalui software 3D, lalu melanjutkan rancangan ke dalam sketsa, di mana Yakin telah mengubah lagi komposisi, distorsi bentuk tubuh dan cahaya. Selanjutnya, dalam proses penintaan, ia menyusun kembali bentuk dan komposisi. Kertas sengaja Yakin pilih oleh kerena media ini mengalami proses oksidasi cukup cepat, sehingga menyebabkan perubahan warna. Proses ini bagi Yakin diamini sebagai kejutan estetis.

Yakin sengaja memilih abu-abu dalam pengertian seluas-luasnya. Hidup memang tak selalu hitam putih, ada banyak yang tidak bisa diprediksi, penuh misteri, dan kerap kali mencengangkan. Di sanalah Yakin ada dan berkarya.

Exhibited Works

Click on the thumbnails below to view full image and details

Syahbandi Samat

Have you ever dreamed in full color? The answer is likely, “No”. The monochromatic nature of dreams forms the backdrop to the body of work presented by young self-taught Malaysian artist Syahbandi Samat. Museum Mimpi (Dream Museum) is a confessional and a coming to terms with the artist’s past, part and parcel of the artist seeking personal redemption. Rendered almost exclusively with the ballpoint pen, the works contained in this collection are akin to dreams, seen as it were in monochromatic hues.

The symbolisms used in Syahbandi’s works may seem odd, but they are deeply meaningful to the artist. Perhaps this is one advantage of an artist being self-taught: the absence of needing to adhere to common convention, or more standard symbolic representations. Every one of the objects or symbols found in his works represents an important facet, person, or event in the young artist’s life that he seeks to come to terms with.

Publication

Publication may be viewed below, or downloaded from here

Exhibited Works

Click on the thumbnails below to view full image and details

In total, four publications were produced for MONOCHROME, consisting three individual solo catalogs for Ajim Juxta, Dedy Sufriadi, and Syahbandi Samat (published by Artemis Art), and one combined catalog published by Art Serpong Gallery for Afdhal, Danni Febriana, and Muhammad Yakin. Limited print copies shall be made available at the exhibition (new dates to be advised at a later time). You may view the online versions below, or download PDF versions of the catalogs via the links provided below:

  1. Combined Catalog for Afdhal, Danni Febriana, and M. Yakin (Revised)
  2. Ajim Juxta
  3. Dedy Sufriadi
  4. Syahbandi Samat

Ajim Juxta: Kanun Gila

Syahbandi Samat: Museum Mimpi

Dedy Sufriadi: Tabula Rasa

MONOCHROME (3 artists combined)

No Comments

Post A Comment

Subscribe to our mailing list

You have successfully subscribed to our mailing list... Thank you!

There was an error while trying to send your request. Please try again.

Artemis Art will use the information you provide on this form to be in touch with you and to provide updates and marketing.
By creating an account you are accepting our Terms & Conditions.